Jumat, 20 Mei 2016

Kesehatan Mental "Bulimia Nervosa"

Tugas Kesehatan Mental 
"Bulimia Nervosa"

Nama: Laoviet Eka Putri
Npm: 15514978
Kelas: 2pa05
Bulimia Nervosa

Pengertian Bulimia Nervosa
Bulimia Nervosa adalah gangguan makan yang terjadi pada individual terutama wanita yang ditandai dengan pola makan binge (makan dalam jumlah lebih dari porsi normal individu) dan purge-eating (makanannya dimuntahkan kembali) (Junaidi, 2012; King, 2014). Individual tersebut memulai dengan pola makan binge lalu dimuntahkan kembali dengan memasukkan jari tangan atau barang ke dalam mulut atau minum laxative (obat pencahar) dan diuretik (obat yang memperbanyak kemih).
Pada Bulimia Nervosa, seseorang secara berkalan mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat, biasanya dua jam atau kurang, dan kemudian berusaha untuk membatalkan asupan kalori yang tinggi tersebut dengan memuntahkannya sendiri, diet ketat, berolahraga berat secara berlebihan, atau mengonsumsi obat pencahar, memasukan cairan melalui dubur (enema), atau obat pemicu diare untuk mengeluarkan isi perut. Siklus ini berlangsung paling tidak dua kali seminggu selama sedikitnya tiga bulan (APA,2000). Orang dengan Bulimia terobsesi dengan berat badan dan bentuk tubuh mereka. Merka menjadi sangat emosional dan merasa malu, membenci diri sendiri, dan depresi karena kebiasaan makan mereka. Mereka memiliki self-esteem yang rendah dan sejarah fluktuasi berat badan, berdiet, serta sering berolahraga (Kendler et a.l, 1991).
Secara faali, rata-rata para penderita bulimia menunjukkan berbagai macam keabnormalan biokimia dalam tubuhnya, termasuk bertambahnya produksi ghrelin, yaitu suatu hormon yang berhubungan dengan penambahan nafsu makan (Monteleone, Serritella, Scognamiglio, & Maj, 2010). Perubahan biokimia ini mungkin disebabkan dari hasil pola makan binge dan purge juga setelah menjalani terapi pengurangan gejala bulimia, ghrelin dan hormon tubuh lainnya akan kembali ke ambang batas normal (Tanaka et al., 2006).
Bulimia terjadi pada individu dengan rentang bobot tubuh normal sehingga sulit untuk dideteksi keberadaannya. Selain itu, penderita cenderung merahasiakan gangguan yang dialami karena merasa jijik dan malu pada dirinya sendiri (King, 2012). Fakta bahwa sindrom parsial atau gejala ringan dari bulimia nervosa mungkin lebih umum di kalangan remaja daripada orang dewasa bukan berarti menunjukkan bahwa bulimia nervosa pada remaja adalah masalah sepele. Salah satu studi menemukan bahwa remaja dengan sindrom parsial bulimia nervosa memiliki risiko yang signifikan dapat mengembangkannya menjadi sindrom penuh (Striegel-Moore, Seeley & Lewinsohn, 2003, Le Grange & Schmidt, 2005). Yang kedua, gangguan fisik dan mental juga berkembang di kalangan anak-anak muda tersebut. Penyesuaian psikososial pada usia dewasa pada wanita muda yang memiliki bulimia nervosa sebagai remaja dikaitkan dengan gangguan signifikan dalam kesehatan, citra diri, dan bidang-bidang penting dari fungsi sosial (Striegel-Moore et al., 2003, in Le Grange & Schmidt, 2005).
Gangguan makan binge (binge eating disorder) terkait dengan bulimia nervosa, yaitu sering makan dalam jumlah banyak, tetapi tanpa di ikuti dengan puasa, berolahraga, atau muntah. Bulimia dan gangguan makan binge lebih umum terjadi dibandingkan anoreksia. Sekitar 3 persen dari perempuan dan 0,3 persen dari laki-laki mengalami gangguan makan binge, dan jumlahnya di saat-saat tertentu menjadi lebih banyak.
Bulimia tampaknya memiliki hubungan dengan rendahnya tingkat zat dalam otak yang bernama serotonin (“Eaing Disorders-Part I, “1997; K.A Smith, Fairburn, dan Cowen, 1999), tetapi tidak ada hubungan sebab akibat. Bulimia mungkin memiliki akar genetis yang sama dengan depresi mayor atau dengan fobia dan gangguan panic (Keel at al. 2003). Mungkin bulimia juga dapat dijelaskan dengan teori psikoanalisis: Orang dengan bulimia dianggap mendambakan makanan untuk memuaskan rasa lapar mereka akan kasih sayang dan perhatian (“Eating Disorders-Part I,”1997;Humprey, 1986).
Penyebab
Belum ditemukan penyebab khusus bulimia nervosa (Bonne et al, 2003, in Ferguson, 2014). Penderita bulimia mengonsumsi porsi makanan yang besar namun di saat yang bersamaan juga memiliki kecemasan (Bigregard, Norring, & Clinton, 2012). Media merupakan salah satu faktor dalam gangguan makan. Eksposur terhadap selebriti yang memiliki tubuh kurus memberikan standar ideal suatu penampilan (Ferguson, 2014). Obsesi terhadap bentuk tubuh yang langsing kerap terjadi pada kaum hawa yang berkecimpung dalam kelas sosio-ekonomi menengah ke atas dimana terdapat tuntutan akan penampilan supaya diakui keberadaannya (Junaidi, 2012).
Selain itu, studi mengatakan bahwa faktor utama pasien bulimia nervosa adalah dari keluarga. Karakteristik keluarga dengan anak penderita bulimia mencakup masalah struktur keluarga, interaksi, dan kedekatan (Jacobi et al, 2004, in Ferguson, 2014).
Penyebab lainnya adalah kurangnya kepercayaan diri terhadap penampilan fisik seseorang. Bulimia umumnya terjadi pada usia remaja menuju dewasa muda (Uher & Rutter, 2012). Gangguan ini terjadi pada rentang 1-4 % pada wanita (NIMH, 2011). Banyak wanita yang mengalami bulimia yang disebabkan oleh sikap perfeksionis (Lampard et al., 2012) dan pada waktu yang sama mereka cenderung tidak percaya diri dalam pencapaian tujuan mereka (Bardone-Cone et al., 2006). Perilaku impulsif, emosi negatif, serta kecenderungan obsesifkompulsif sewaktu usia kanak-kanak dapat menjadi faktor pada bulimia (Roncero, Perpina, & Garcia-Soriano, 2011; Tchanturia et al., 2004; Vervaet, van Heeringen, & Audenaert, 2004; King, 2012). Bulimia nervosa juga terkait dalam pelecehan seksual dan fisik sewaktu masa anak-anak (Lo Sauro et al., 2008).
Meski sekarang masih belum ditemukan penyebab spesifik bulimia, akan tetapi sejak tahun 1980an, para peneliti telah memfokuskan tidak pada faktor sosiokultural yang menyebabkan bulimia tetapi pada potensi biologis yang menyebabkannya. Gen memainkan peran yang penting pada anoreksia dan bulimia (Lock, 2012; Mas et al., 2013). Gen mempengaruhi banyak karakter psikologis seperti perfeksionis, impulsif, kecenderungan obsesifkompulsif, serta perilaku-perilaku yang ada pada penderita anoreksia dan bulimia (Slof-Op’t 3 Landt et al., 2013; Schur, Heckbert, & Goldberg, 2010). Kondisi genetik ini pulalah yang bertanggung jawab atas masalah dalam regulasi serotonin pada anoreksia dan bulimia (Capasso, Putrella, & Milano, 2009).
Gejala
Seseorang dapat dikatakan mengalami bulimia apabila ia mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak lalu memuntahkannya kembali minimal 2 kali seminggu (Junaidi, 2012).
Tanda-tanda lainnya adalah:
a.       Sangat takut gemuk dan berat badannya naik-turun secara ekstrim.
b.      Olahraga, puasa, dan diet berlebihan setelah makan dalam jumlah banyak.
c.       Terjadi bengkak pada pipi karena peradangan kelenjar parotis.
d.      Adanya jaringan parut pada jari tangan akibat dari gesekan kronis pada saat merangsang terjadinya muntah.
e.       Email gigi menipis akibat dari asam lambung yang terbawa ketika muntah.
f.       Peradangan rongga mulut/ kerongkongan.
g.      Pecahnya pembuluh darah di mata.
h.      Penggunaan obat pencahar secara berlebihan sehingga menyebabkan kadar kalium dalam darah menurun yang mengakibatkan gangguan irama jantung.
Pengobatan
Pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah bulimia nervosa adalah sebagai berikut:
1.      Psikoterapi - Pengobatan keluarga dan diri sendiri.
Banyak remaja melaporkan bahwa keterlibatan orangtua yaitu dalam bentuk dukungan dan bukan menghakimi atau mengkritik sangat membantu. Ada kemungkinan bahwa pengobatan berbasis keluarga dapat berkontribusi dalam mengurangi rasa malu dan rasa bersalah yang umumnya terjadi dalam penderita bulimia nervosa. Hal ini dapat dilakukan dengan menekankan bahwa perilaku gejala bukan disebabkan remaja yang dimanjakan dan disengaja, namun memang merupakan suatu disorder. (Le Grange & Schmidt, 2005).

2.      Farmakoterapi
Hanya satu studi kecil label terbuka telah diperiksa kelayakan, tolerabilitas, dan khasiat mengobati remaja dengan bulimia nervosa dengan fluoxetine, penghambat pengambilan kembali neurotransmitter serotonin (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors/SSRI) (Le Grange & Schmidt, 2005). Tetapi perlu diingat, bahwa tingkat kebutuhan obat-obatan seperti anti depresan harus lebih tinggi dari efek sampingnya.

 Adiksi
Memakan makanan yang lezat dapat mengaktivasi lokasi otak yang sama dengan orang yang mengonsumsi narkoba, salah satunya adalah nucleus accumbens. Para ilmuwan meneliti tikus yang kekurangan makan selama 12 jam per hari, termasuk 4 jam pertama sejak periode terjaga mereka, lalu diberi larutan gula yang sangat manis. Setelah perlakuan ini dilakukan selama beberapa minggu, tikus tersebut minum lebih banyak larutan gula tiap harinya. Asupan tersebut merangsang pelepasan dopamin dan opioid (senyawa yang serupa dengan opiate) pada otak, efek yang sama juga terjadi pada pecandu narkoba (Colantuoni et al., 2001, 2002).
Perlakuan ini juga menambah level reseptor dopamin tipe 3 di otak, efek yang juga terjadi pada tikus yang mengonsumsi morfin (Spangler et al., 2004). Apabila tikus tersebut tidak mengonsumsi larutan manis ini, mereka akan mengalami withdrawal symptoms, termasuk badan yang gemetaran, gigi bergemeletuk dan tremor. Injeksi morfin dapat menghilangkan gejalagejala tersebut, singkatnya tikus tersebut menunjukkan indikasi yang jelas akan adiksi terhadap gula dalam dosis besar (Avena, Rada, & Hoebel, 2008).
Hal yang sama dapat kita simpulkan bahwa siklus bulimia tentang diet dan pola makan binge bersifat adiktif (Kalat, 2013).
Saran untuk Penderita
·         Tidak perlu membanding-bandingkan kondisi tubuh sendiri dengan orang lain. Cintailah diri sendiri karena kita adalah karya terbaik yang telah dianugerahkan Tuhan melalui orang tua untuk kita.
·         Makan makanan yang bergizi untuk dan atur pola makan serta porsi yang cukup agar terhindar dari penyakit lambung.
·         Jujurlah pada konselor, keluarga, dan sahabat bila memang terjadi masalah yang menimpa kita. Terima diri sendiri apa adanya baik kelebihan maupun kekurangannya.
Kesimpulan
Bulimia nervosa dapat disebabkan oleh pengaruh sosial tempat dimana penderita berada dan genetik yang menyebabkan masalah pada regulasi serotonin pada tubuh penderita. Bulimia dapat ditandai dengan pola makan binge, memuntahkan makanan yang dikonsumsi yang disertai dengan diet ketat, olahraga keras dan mongonsumsi laxative dan obat diuretik. Bulimia nervosa menyebabkan penderitanya mengalami depresi, ketidakstabilan berat badan dan homeostasis tubuh (ketidakstabilan hormon ghrelin dalam regulasi nafsu makan) serta efek psikologis lainnya seperti menjadi pribadi yang memiliki tingkat kecemasan tinggi, perfeksionis akan tetapi memiliki keyakinan yang rendah dalam pencapaian tujuan yang diinginkan, serta memiliki self-image yang buruk terhadap diri sendiri. Solusi terbaik dalam mengatasi bulimia adalah psikoterapi oleh diri sendiri maupun keluarga atau konselor dan apabila cara tersebut tidak berhasil maka digunakan obat anti depresan jenis SSRI untuk mengurangi depresi pada penderita bulimia.

Sumber: Diane E. papalia, Sally Wendkos Old & Ruth Duskin Feldman.(2009).human Developmant. Jakarta : Salemba Humaika