Tugas Kesehatan Mental
"Bulimia Nervosa"
Nama: Laoviet Eka Putri
Npm: 15514978
Kelas: 2pa05
Bulimia Nervosa
Pengertian Bulimia Nervosa
Bulimia
Nervosa adalah gangguan makan yang terjadi pada individual terutama wanita yang
ditandai dengan pola makan binge (makan dalam jumlah lebih dari porsi normal
individu) dan purge-eating (makanannya dimuntahkan kembali) (Junaidi, 2012;
King, 2014). Individual tersebut memulai dengan pola makan binge lalu
dimuntahkan kembali dengan memasukkan jari tangan atau barang ke dalam mulut
atau minum laxative (obat pencahar) dan diuretik (obat yang memperbanyak
kemih).
Pada
Bulimia Nervosa, seseorang secara berkalan mengonsumsi makanan dalam jumlah
banyak dan dalam waktu singkat, biasanya dua jam atau kurang, dan kemudian
berusaha untuk membatalkan asupan kalori yang tinggi tersebut dengan
memuntahkannya sendiri, diet ketat, berolahraga berat secara berlebihan, atau
mengonsumsi obat pencahar, memasukan cairan melalui dubur (enema), atau obat
pemicu diare untuk mengeluarkan isi perut. Siklus ini berlangsung paling tidak
dua kali seminggu selama sedikitnya tiga bulan (APA,2000). Orang dengan Bulimia
terobsesi dengan berat badan dan bentuk tubuh mereka. Merka menjadi sangat
emosional dan merasa malu, membenci diri sendiri, dan depresi karena kebiasaan
makan mereka. Mereka memiliki self-esteem yang rendah dan sejarah fluktuasi
berat badan, berdiet, serta sering berolahraga (Kendler et a.l, 1991).
Secara
faali, rata-rata para penderita bulimia menunjukkan berbagai macam keabnormalan
biokimia dalam tubuhnya, termasuk bertambahnya produksi ghrelin, yaitu suatu
hormon yang berhubungan dengan penambahan nafsu makan (Monteleone, Serritella,
Scognamiglio, & Maj, 2010). Perubahan biokimia ini mungkin disebabkan dari
hasil pola makan binge dan purge juga setelah menjalani terapi pengurangan
gejala bulimia, ghrelin dan hormon tubuh lainnya akan kembali ke ambang batas
normal (Tanaka et al., 2006).
Bulimia
terjadi pada individu dengan rentang bobot tubuh normal sehingga sulit untuk
dideteksi keberadaannya. Selain itu, penderita cenderung merahasiakan gangguan
yang dialami karena merasa jijik dan malu pada dirinya sendiri (King, 2012).
Fakta bahwa sindrom parsial atau gejala ringan dari bulimia nervosa mungkin
lebih umum di kalangan remaja daripada orang dewasa bukan berarti menunjukkan
bahwa bulimia nervosa pada remaja adalah masalah sepele. Salah satu studi
menemukan bahwa remaja dengan sindrom parsial bulimia nervosa memiliki risiko
yang signifikan dapat mengembangkannya menjadi sindrom penuh (Striegel-Moore,
Seeley & Lewinsohn, 2003, Le Grange & Schmidt, 2005). Yang kedua,
gangguan fisik dan mental juga berkembang di kalangan anak-anak muda tersebut.
Penyesuaian psikososial pada usia dewasa pada wanita muda yang memiliki bulimia
nervosa sebagai remaja dikaitkan dengan gangguan signifikan dalam kesehatan,
citra diri, dan bidang-bidang penting dari fungsi sosial (Striegel-Moore et
al., 2003, in Le Grange & Schmidt, 2005).
Gangguan
makan binge (binge eating disorder)
terkait dengan bulimia nervosa, yaitu sering makan dalam jumlah banyak, tetapi
tanpa di ikuti dengan puasa, berolahraga, atau muntah. Bulimia dan gangguan
makan binge lebih umum terjadi dibandingkan anoreksia. Sekitar 3 persen dari
perempuan dan 0,3 persen dari laki-laki mengalami gangguan makan binge, dan
jumlahnya di saat-saat tertentu menjadi lebih banyak.
Bulimia
tampaknya memiliki hubungan dengan rendahnya tingkat zat dalam otak yang
bernama serotonin (“Eaing Disorders-Part I, “1997; K.A Smith, Fairburn, dan
Cowen, 1999), tetapi tidak ada hubungan sebab akibat. Bulimia mungkin memiliki
akar genetis yang sama dengan depresi mayor atau dengan fobia dan gangguan
panic (Keel at al. 2003). Mungkin bulimia juga dapat dijelaskan dengan teori
psikoanalisis: Orang dengan bulimia dianggap mendambakan makanan untuk
memuaskan rasa lapar mereka akan kasih sayang dan perhatian (“Eating
Disorders-Part I,”1997;Humprey, 1986).
Penyebab
Belum
ditemukan penyebab khusus bulimia nervosa (Bonne et al, 2003, in Ferguson,
2014). Penderita bulimia mengonsumsi porsi makanan yang besar namun di saat
yang bersamaan juga memiliki kecemasan (Bigregard, Norring, & Clinton,
2012). Media merupakan salah satu faktor dalam gangguan makan. Eksposur
terhadap selebriti yang memiliki tubuh kurus memberikan standar ideal suatu
penampilan (Ferguson, 2014). Obsesi terhadap bentuk tubuh yang langsing kerap
terjadi pada kaum hawa yang berkecimpung dalam kelas sosio-ekonomi menengah ke
atas dimana terdapat tuntutan akan penampilan supaya diakui keberadaannya
(Junaidi, 2012).
Selain
itu, studi mengatakan bahwa faktor utama pasien bulimia nervosa adalah dari
keluarga. Karakteristik keluarga dengan anak penderita bulimia mencakup masalah
struktur keluarga, interaksi, dan kedekatan (Jacobi et al, 2004, in Ferguson,
2014).
Penyebab
lainnya adalah kurangnya kepercayaan diri terhadap penampilan fisik seseorang.
Bulimia umumnya terjadi pada usia remaja menuju dewasa muda (Uher & Rutter,
2012). Gangguan ini terjadi pada rentang 1-4 % pada wanita (NIMH, 2011). Banyak
wanita yang mengalami bulimia yang disebabkan oleh sikap perfeksionis (Lampard
et al., 2012) dan pada waktu yang sama mereka cenderung tidak percaya diri
dalam pencapaian tujuan mereka (Bardone-Cone et al., 2006). Perilaku impulsif,
emosi negatif, serta kecenderungan obsesifkompulsif sewaktu usia kanak-kanak
dapat menjadi faktor pada bulimia (Roncero, Perpina, & Garcia-Soriano, 2011;
Tchanturia et al., 2004; Vervaet, van Heeringen, & Audenaert, 2004; King,
2012). Bulimia nervosa juga terkait dalam pelecehan seksual dan fisik sewaktu
masa anak-anak (Lo Sauro et al., 2008).
Meski
sekarang masih belum ditemukan penyebab spesifik bulimia, akan tetapi sejak
tahun 1980an, para peneliti telah memfokuskan tidak pada faktor sosiokultural
yang menyebabkan bulimia tetapi pada potensi biologis yang menyebabkannya. Gen
memainkan peran yang penting pada anoreksia dan bulimia (Lock, 2012; Mas et
al., 2013). Gen mempengaruhi banyak karakter psikologis seperti perfeksionis,
impulsif, kecenderungan obsesifkompulsif, serta perilaku-perilaku yang ada pada
penderita anoreksia dan bulimia (Slof-Op’t 3 Landt et al., 2013; Schur,
Heckbert, & Goldberg, 2010). Kondisi genetik ini pulalah yang bertanggung
jawab atas masalah dalam regulasi serotonin pada anoreksia dan bulimia (Capasso,
Putrella, & Milano, 2009).
Gejala
Seseorang
dapat dikatakan mengalami bulimia apabila ia mengonsumsi makanan dalam jumlah
banyak lalu memuntahkannya kembali minimal 2 kali seminggu (Junaidi, 2012).
Tanda-tanda lainnya adalah:
Tanda-tanda lainnya adalah:
a. Sangat
takut gemuk dan berat badannya naik-turun secara ekstrim.
b. Olahraga,
puasa, dan diet berlebihan setelah makan dalam jumlah banyak.
c. Terjadi
bengkak pada pipi karena peradangan kelenjar parotis.
d. Adanya
jaringan parut pada jari tangan akibat dari gesekan kronis pada saat merangsang
terjadinya muntah.
e. Email
gigi menipis akibat dari asam lambung yang terbawa ketika muntah.
f. Peradangan
rongga mulut/ kerongkongan.
g. Pecahnya
pembuluh darah di mata.
h. Penggunaan
obat pencahar secara berlebihan sehingga menyebabkan kadar kalium dalam darah
menurun yang mengakibatkan gangguan irama jantung.
Pengobatan
Pengobatan
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah bulimia nervosa adalah sebagai
berikut:
1.
Psikoterapi
- Pengobatan keluarga dan diri sendiri.
Banyak
remaja melaporkan bahwa keterlibatan orangtua yaitu dalam bentuk dukungan dan
bukan menghakimi atau mengkritik sangat membantu. Ada kemungkinan bahwa
pengobatan berbasis keluarga dapat berkontribusi dalam mengurangi rasa malu dan
rasa bersalah yang umumnya terjadi dalam penderita bulimia nervosa. Hal ini
dapat dilakukan dengan menekankan bahwa perilaku gejala bukan disebabkan remaja
yang dimanjakan dan disengaja, namun memang merupakan suatu disorder. (Le
Grange & Schmidt, 2005).
2.
Farmakoterapi
Hanya
satu studi kecil label terbuka telah diperiksa kelayakan, tolerabilitas, dan
khasiat mengobati remaja dengan bulimia nervosa dengan fluoxetine, penghambat
pengambilan kembali neurotransmitter serotonin (Selective Serotonin Reuptake
Inhibitors/SSRI) (Le Grange & Schmidt, 2005). Tetapi perlu diingat, bahwa
tingkat kebutuhan obat-obatan seperti anti depresan harus lebih tinggi dari efek
sampingnya.
Adiksi
Memakan makanan
yang lezat dapat mengaktivasi lokasi otak yang sama dengan orang yang
mengonsumsi narkoba, salah satunya adalah nucleus accumbens. Para ilmuwan
meneliti tikus yang kekurangan makan selama 12 jam per hari, termasuk 4 jam
pertama sejak periode terjaga mereka, lalu diberi larutan gula yang sangat
manis. Setelah perlakuan ini dilakukan selama beberapa minggu, tikus tersebut
minum lebih banyak larutan gula tiap harinya. Asupan tersebut merangsang
pelepasan dopamin dan opioid (senyawa yang serupa dengan opiate) pada otak,
efek yang sama juga terjadi pada pecandu narkoba (Colantuoni et al., 2001,
2002).
Perlakuan ini
juga menambah level reseptor dopamin tipe 3 di otak, efek yang juga terjadi
pada tikus yang mengonsumsi morfin (Spangler et al., 2004). Apabila tikus
tersebut tidak mengonsumsi larutan manis ini, mereka akan mengalami withdrawal
symptoms, termasuk badan yang gemetaran, gigi bergemeletuk dan tremor. Injeksi
morfin dapat menghilangkan gejalagejala tersebut, singkatnya tikus tersebut
menunjukkan indikasi yang jelas akan adiksi terhadap gula dalam dosis besar
(Avena, Rada, & Hoebel, 2008).
Hal yang sama
dapat kita simpulkan bahwa siklus bulimia tentang diet dan pola makan binge bersifat
adiktif (Kalat, 2013).
Saran
untuk Penderita
·
Tidak perlu membanding-bandingkan
kondisi tubuh sendiri dengan orang lain. Cintailah diri sendiri karena kita
adalah karya terbaik yang telah dianugerahkan Tuhan melalui orang tua untuk
kita.
·
Makan makanan yang bergizi untuk dan
atur pola makan serta porsi yang cukup agar terhindar dari penyakit lambung.
·
Jujurlah pada konselor, keluarga, dan
sahabat bila memang terjadi masalah yang menimpa kita. Terima diri sendiri apa
adanya baik kelebihan maupun kekurangannya.
Kesimpulan
Bulimia nervosa dapat disebabkan oleh
pengaruh sosial tempat dimana penderita berada dan genetik yang menyebabkan
masalah pada regulasi serotonin pada tubuh penderita. Bulimia dapat ditandai
dengan pola makan binge, memuntahkan makanan yang dikonsumsi yang disertai
dengan diet ketat, olahraga keras dan mongonsumsi laxative dan obat diuretik.
Bulimia nervosa menyebabkan penderitanya mengalami depresi, ketidakstabilan
berat badan dan homeostasis tubuh (ketidakstabilan hormon ghrelin dalam
regulasi nafsu makan) serta efek psikologis lainnya seperti menjadi pribadi
yang memiliki tingkat kecemasan tinggi, perfeksionis akan tetapi memiliki
keyakinan yang rendah dalam pencapaian tujuan yang diinginkan, serta memiliki
self-image yang buruk terhadap diri sendiri. Solusi terbaik dalam mengatasi bulimia
adalah psikoterapi oleh diri sendiri maupun keluarga atau konselor dan apabila
cara tersebut tidak berhasil maka digunakan obat anti depresan jenis SSRI untuk
mengurangi depresi pada penderita bulimia.
Sumber: Diane E. papalia, Sally Wendkos Old
& Ruth Duskin Feldman.(2009).human Developmant. Jakarta : Salemba Humaika